Oleh Syaiful Arif
Sebagai organisasi yang lekat dengan komitmen kebangsaan, Nahdlatul Ulama (NU) tak lepas membawa spirit ini, salah satunya tersirat pada Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur Agustus 2015 lalu. Pertanyaannya, seberapa kontekstual spirit tersebut menghadapi absurditas politik di negeri yang tak juga lepas dari kesemuan demokrasi?
Di manakah spirit kebangsaan pada Muktamar ke-33 NU kemarin? Tentu dalam koherensi logis dari tema muktamar: Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia. Nilai kebangsaan menjadi koherensi dari corak kultural Islam Nusantara. Bagaimana penjelasannya?
Mark Woodward dalam Java, Indonesia and Islam menemukan
koherensi ini, dalam keterkaitan antara "Islam kebudayaan" dan "Islam
kebangsaan". Koherensi ini ia temukan dalam hubungan antara pribumisasi
budaya dan kontekstualisasi politik. Artinya, pribumisasi Islam ke dalam
budaya menjadi conditio sine qua non bagi kontekstualisasi Islam ke dalam sistem politik modern (Woodward, 2011:67).
Islam Nusantara, yang merupakan realitas historis-kultural, hasil
pribumisasi Islam ke dalam budaya Nusantara, menyediakan kondisi
kultural bagi terbentuknya nasionalisme NU. Ini terjadi karena
pribumisasi -manifestasi ajaran Islam melalui budaya lokal- telah
meleraikan ketegangan agama dan budaya, yang tidak dialami oleh
puritanisme Islam. Bagi yang terakhir ini, agama senantiasa dibenturkan
dengan budaya, sehingga melahirkan perjuangan simbolis: penegaran simbol
Islam atas budaya dan sistem politik liyan.
Bagi NU yang telah meleraikan ketegangan antara agama dan budaya;
perjuangan Islam menjadi substantif. Maka syariat Islampun didekati
terutama dari tujuan (maqashid al-syari'ah) dan prinsip dasarnya (mabadi' al-syari'ah). Inti nilainya terdapat pada kemaslahatan serta moderatisme (wasathiyyah)
yang memungkinkan NU mewujudkan cita bukan dari idealisme, melainkan
realisme. Artinya, dalam mewujudkan tujuan syariah, kaum tradisionalis
ini berangkat dari realitas, baik realitas budaya maupun kenegaraan
Indonesia. Ini yang membentuk Islam Nusantara yang menjadi
basis-struktur bagi supra-struktur Islam Indonesia.
Dengan demikian, wacana Islam Nusantara menandai proses kembali ke
akar nasionalisme NU karena corak kebangsaan organisasi ini dibentuk
oleh pendekatan dakwahnya yang bersifat sosio-kultural. "Yang kultural"
ini berbasis pada corak keislaman Nusantara.
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan bagus mendefinisikan corak
sosio-kultural NU ini. Menurutnya, gerakan NU bersifat sosial karena ia
menginginkan perubahan struktur sosial menuju masyarakat berkeadilan.
Hanya saja, berbeda dengan gerakan sosio-politik yang memakai strategi
politik (pendirian Negara Islam), NU menggunakan strategi kultural
melalui dua langkah. Pertama, pemijakan atas nilai-nilai budaya masyarakat. Kedua,
menggunakan modal budaya masyarakat terutama komunitas, lembaga dan
asiosiasi kulturalnya. Hal ini dilakukan Gus Dur melalui gerakan
pengembangan masyarakat berbasis pesantren dekade 1980. Dalam hal ini,
pesantren adalah modal budaya masyarakat yang dijadikan basis
pengembangan ekonomi berdasar nilai-nilai Islam yang berkembang di
pesantren.
Pengembangan masyarakat melalui pesantren ini lebih mempertanyakan
struktur politik yang timpang, daripada bentuk negara NKRI. Oleh
karenanya, lawan strukturalnya adalah pembangunan developmentalistik
Orde Baru, bukannya negara republik yang hendak diganti dengan Negara
Islam.
Fase Nasionalisme
Seperti diketahui, nasionalisme NU memang dibentuk di dalam muktamar atau Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama. Pertama, pengakuan wilayah Nusantara sebagai dar al-Islam (wilayah Islam) pada Muktamar ke-11 di Banjarmasin (1936).
Ini mafhum diketahui, di mana NU menetapkan wilayah Nusantara yang saat itu dikuasai pemerintah kolonial Belanda, sebagai dar al-Islam. Pemaknaan dar al-Islam bukan sebagai negara Islam (daulah Islamiyyah),
melainkan wilayah Islam, telah menumbuhkan nasionalisme karena NU
mengakui Nusantara sebagai tanah kaum Muslim. Karena status keislaman
ini, Hadlratus Syeikh Hasyim Asy'ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada
Oktober 1945. Membela tanah air dari penjajahan, fardlu 'ain hukumnya.
Kedua, afirmasi atas pembentukan negara-bangsa (nation-state) Indonesia, bukan negara Islam. Ini terjadi pada keterlibatan Kiai Wahid Hasyim pada Sidang BPUPKI-PPKI 1945. Ketiga, penahbisan Presiden Republik Indonesia (RI) sebagai pemimpin dalam keadaan darurat yang memiliki otoritas (waly al-amri al-dlaruri bi al-syaukah)
melalui Munas Alim Ulama di Cipanas (1954). Disebut darurat, karena
presiden RI tidak sepenuhnya sah menurut fikih Sunni, sebab tidak
memenuhi syarat sebagai khalifah dunia Islam. Namun secara
konstitusional, ia memiliki kekuasaan sehingga sah menerapkan syariah
Islam, terutama penunjukan wali hakim dalam pernikahan Muslim. Melalui
penahbisan ini, pemerintah RI sah secara syar'i.
Keempat, pembelaan Demokrasi Pancasila sebagai pilihan
otentik dibanding Demokrasì Terpimpin, liberal dan komunis pada Muktamar
ke-24 di Bandung (1967). Kelima, penerimaan atas Pancasila
pada Munas Alim Ulama di Situbondo (1983). Serta keenam, Maklumat
Penyelamatan NKRI dan Pancasila dari fundamentalisme agama dan pasar
pada Harlah ke-85 NU (2011).
Sosio-Nasionalisme
Hanya saja segenap fase kebangsaan ini terhenti pada legitimasi Islam
atas nasionalisme dalam rangka bentuk negara. Hal ini bisa dipahami
sebab NU berkepentingan menjaga NKRI dari delegitimasi radikalisme
Islam. Akan tetapi di masa ketika reformasi politik telah berjalan
meninggalkan nasionalisme paska-kolonial; nasionalisme NU perlu
diperbarui demi demokratisasi yang makin substantif. Untuk hal ini perlu
dilakukan beberapa hal.
Pertama, pendalaman nasionalisme menuju apa yang Soekarno
sebut sebagai sosio-nasionalisme. Dalam kerangka ini, nasionalisme bukan
hanya pembelaan atas bangunan negara-bangsa. Melainkan perwujudan
tujuan pendirian negara yang oleh Pancasila diarahkan menuju keadilan
sosial.
Kedua, transformasi pemikiran politik Sunni klasik, menuju
politik NU yang berpijak pada konsep politik kontemporer. Ini sebenarnya
potensial, sebab pendekatan maqashid al-syari'ah menempatkan politik sebagai res publica
(kebaikan publik). Dengan potensi ini, pemikiran politik NU sejajar
dengan teori republikanisme, yang membangkitkan kembali ontologi politik
di tengah demokrasi prosedural manipulatif.
Pada titik ini, Muktamar ke-33 kemarin sebenarnya menawarkan warna
baru dalam tradisi demokrasi melalui pemilihan Rais Aam berdasarkan
musyawarah dewan ulama tertinggi (ahlul halli wal 'aqdi). Ini dilakukan untuk menghindari politisasi yang terjadi dalam pemungutan suara (voting). Dengan demikian, NU telah mengawali transformasi demokrasi dari majoritarianisme kepada syura (musyawarah). Satu hal yang diidealkan oleh prinsip permusyawaratan Pancasila.
Hanya saja warna baru demokrasi di kalangan nahdliyin ini akan terhenti pada pemilihan pemimpin (nashb al-imamah), jika tidak dibarengi dengan pendalaman nasionalisme di atas. Dua agenda mendasar menanti. Pertama, penguatan etos kewarganegaraan, terutama di kalangan umat Islam. Kedua, radikalisasi demokrasi dalam bentuk penguatan demokrasi partisipatoris menuju perwujudan res publica.
Jika tidak, nasionalisme NU hanya terhenti di mimbar dakwah, namun abai
dengan ketidakadilan struktural yang menjadi nasib keseharian negeri
ini.
* Penulis adalah Dosen Pascasarjana Islam Nusantara STAINU Jakarta
Sumber : NU Online